Sabtu, 12 Juli 2025

Sikap dan Identitas dalam Perspektif Psikologi

Sikap dan Identitas dalam Perspektif Psikologi

Oleh: Yolanda Dini N.S.

Sering kali manusia mempertanyakan dirinya sendiri. Dalam keheningan, seseorang mungkin merenung, “Siapa sebenarnya saya? Mengapa saya berpikir demikian? Apa yang membuat saya bersikap seperti ini terhadap sesuatu, sedangkan orang lain bersikap berbeda?” Pertanyaan-pertanyaan semacam ini wajar muncul karena manusia sebagai makhluk sosial senantiasa berproses mengenali diri sekaligus memahami lingkungannya. Dua konsep penting yang kerap menjadi sorotan dalam psikologi dan sangat terkait dengan hal ini adalah sikap (attitude) dan identitas (identity). Keduanya memiliki peran penting dalam membentuk pola pikir, perilaku, serta bagaimana seseorang memaknai dirinya dan orang lain.

Dalam psikologi, sikap diartikan sebagai kecenderungan untuk mengevaluasi suatu objek, peristiwa, gagasan, atau individu secara positif atau negatif (Ajzen & Fishbein, 2005). Objek sikap bisa sangat luas, mulai dari isu sosial, kebijakan publik, hingga persepsi terhadap diri sendiri. Sikap bukan sekadar rasa suka atau tidak suka, melainkan konstruksi psikologis yang terdiri dari tiga komponen: kognitif (keyakinan atau pikiran tentang objek sikap), afektif (perasaan yang ditimbulkan oleh objek sikap), dan konatif atau perilaku (kecenderungan untuk bertindak terhadap objek sikap) (Eagly & Chaiken, 1993).

Sebagai contoh, seseorang mungkin memiliki keyakinan bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan (komponen kognitif), merasa jijik atau khawatir ketika melihat orang merokok (komponen afektif), dan memilih menjauh dari orang yang sedang merokok (komponen konatif). Namun demikian, konsistensi ketiga komponen ini tidak selalu terjadi. Seseorang bisa saja mengetahui bahwa makanan cepat saji tidak sehat, namun tetap mengonsumsinya karena alasan kesenangan atau kemudahan (Haddock & Maio, 2014). Fenomena ketidaksesuaian antara pengetahuan, perasaan, dan tindakan inilah yang dalam psikologi disebut cognitive dissonance (Festinger, 1957).

Sikap terbentuk melalui berbagai sumber. Pengalaman pribadi menjadi salah satu faktor penting. Misalnya, seseorang yang pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan dengan hewan tertentu mungkin tumbuh dengan sikap takut terhadap hewan tersebut (Olson & Fazio, 2009). Selain itu, lingkungan sosial juga berperan besar. Keluarga, teman, atau tokoh masyarakat dapat menanamkan nilai-nilai tertentu yang secara tidak langsung membentuk sikap seseorang. Media massa dan media sosial turut memberikan pengaruh signifikan. Paparan berulang terhadap informasi tertentu di media dapat memperkuat atau mengubah sikap individu (Petty & Cacioppo, 1986; Albarracín & Shavitt, 2018).

Budaya dan nilai sosial juga menjadi faktor penting dalam pembentukan sikap. Apa yang dianggap pantas dalam satu budaya belum tentu sama dalam budaya lain. Misalnya, sikap terhadap cara berpakaian, kebiasaan sosial, atau pola relasi antara laki-laki dan perempuan sangat dipengaruhi oleh norma budaya yang berlaku (Triandis, 1995).

Menariknya, sikap bersifat dinamis dan dapat berubah. Psikologi sosial banyak mengkaji proses persuasi, yaitu bagaimana sikap seseorang dapat diubah. Salah satu teori penting adalah Elaboration Likelihood Model (ELM) yang dikembangkan oleh Petty dan Cacioppo (1986). Teori ini menjelaskan bahwa perubahan sikap dapat terjadi melalui dua jalur: central route, yang melibatkan pemikiran mendalam terhadap argumen yang disampaikan, dan peripheral route, yang lebih mengandalkan isyarat-isyarat permukaan seperti daya tarik pembicara atau gaya penyampaian. Jalur periferal lebih sering terjadi karena manusia cenderung menghemat energi kognitif dalam memproses informasi sehari-hari. Namun, perubahan sikap melalui jalur sentral biasanya lebih tahan lama dan konsisten (Petty & Briñol, 2012).

Hubungan antara sikap dan identitas sangat erat. Identitas merupakan konsep diri yang menjawab pertanyaan mendasar: “Siapa saya?” Menurut Erikson (1968), pembentukan identitas merupakan tugas perkembangan yang sangat penting, terutama pada masa remaja, meskipun sebenarnya proses ini berlangsung seumur hidup. Identitas mencakup dimensi pribadi (ciri khas, kepribadian, nilai) dan dimensi sosial (kelompok sosial, budaya, agama) (Oyserman et al., 2012).

Identitas sosial, misalnya, sangat memengaruhi sikap individu terhadap isu-isu tertentu. Seseorang yang mengidentifikasi dirinya sebagai aktivis lingkungan mungkin akan bersikap tegas terhadap isu perubahan iklim, penggunaan plastik sekali pakai, atau kebijakan energi. Hal ini selaras dengan self-categorization theory yang dijelaskan oleh Turner (1987), di mana individu cenderung mengelompokkan dirinya ke dalam kategori sosial tertentu (ingroup) dan membedakan diri dari kelompok lain (outgroup). Konsep ini menjelaskan bagaimana identitas sosial dapat memengaruhi sikap, sering kali menghasilkan perilaku mendukung kelompok sendiri dan bersikap kritis terhadap kelompok lain (Tajfel & Turner, 1979).

Identitas tidak bersifat tetap, melainkan dinamis. Identitas seseorang dapat berubah seiring pertambahan usia, perubahan sosial, pengalaman hidup, atau perubahan nilai. Seseorang yang dahulu mendefinisikan dirinya sebagai pekerja keras mungkin mengubah fokus menjadi lebih menghargai keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan setelah mengalami pengalaman tertentu (Vignoles et al., 2011). Selain itu, perubahan identitas juga dapat terjadi akibat peristiwa besar, seperti berpindah ke negara lain, kehilangan orang tercinta, atau perubahan sosial signifikan.

Era digital membuat hubungan antara sikap dan identitas menjadi semakin kompleks. Media sosial bukan hanya menjadi sarana berbagi informasi, tetapi juga ruang bagi individu untuk membangun dan memoles identitas mereka. Seseorang dapat menciptakan persona tertentu di media sosial yang mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan kehidupan nyata mereka. Fenomena presentation of self seperti dijelaskan Goffman (1959) menjadi semakin relevan, di mana individu menampilkan versi terbaik dari dirinya agar mendapat pengakuan sosial. Namun, kondisi ini juga berpotensi menimbulkan cognitive dissonance, yakni ketegangan akibat perbedaan antara identitas yang ditampilkan dan identitas asli (Festinger, 1957).

Media sosial juga menciptakan fenomena echo chamber, yaitu lingkungan digital yang hanya memperkuat pandangan yang sudah dimiliki. Individu cenderung hanya mengikuti akun atau komunitas yang sejalan dengan sikapnya, sehingga jarang terpapar pandangan berbeda (Sunstein, 2001). Hal ini sering menjadi penyebab menguatnya polarisasi sosial dan politik di masyarakat.

Memahami hubungan antara sikap dan identitas penting agar kita lebih bijaksana dalam memaknai diri sendiri maupun orang lain. Kesadaran bahwa sikap sering kali lahir dari identitas sosial dapat membantu kita mengelola konflik sosial, menghargai perbedaan, dan mengurangi prasangka. Selain itu, mengenali sikap dan identitas membantu kita lebih memahami pilihan-pilihan hidup yang kita ambil, serta apa yang sebenarnya kita anggap penting.

Pada akhirnya, pertanyaan “Siapa saya?” tidak memiliki jawaban yang sepenuhnya final. Identitas kita adalah hasil konstruksi pengalaman, nilai, keyakinan, serta interaksi sosial yang terus berkembang. Sikap kita pun demikian, senantiasa dinamis, berubah seiring bertambahnya pengetahuan, kondisi sosial, dan pengalaman hidup. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang terus bertumbuh dan belajar memahami dirinya sendiri.

Oleh karena itu, tidak ada salahnya sesekali kita berhenti sejenak, merenung, dan bertanya pada diri sendiri: “Apa sikap yang saya miliki saat ini? Apa yang membuat saya merasa seperti ini? Bagaimana hal itu berhubungan dengan siapa saya selama ini?” Proses refleksi semacam ini bukan hanya bermanfaat untuk mengenali diri, tetapi juga menjadi langkah awal menjadi pribadi yang lebih bijaksana dan terbuka terhadap keberagaman. Sebab, memahami sikap dan identitas bukan sekadar mempelajari teori psikologi, melainkan perjalanan untuk mengenali kisah hidup kita sendiri.


Referensi

Ajzen, I., & Fishbein, M. (2005). The influence of attitudes on behavior. In D. Albarracín, B. T. Johnson, & M. P. Zanna (Eds.), The Handbook of Attitudes (pp. 173-221). Mahwah, NJ: Erlbaum.

Albarracín, D., & Shavitt, S. (2018). Attitudes and attitude change. Annual Review of Psychology, 69, 299–327. https://doi.org/10.1146/annurev-psych-122216-011911

Eagly, A. H., & Chaiken, S. (1993). The Psychology of Attitudes. Orlando, FL: Harcourt Brace Jovanovich.

Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and Crisis. New York: W. W. Norton & Company.

Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford, CA: Stanford University Press.

Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. New York: Doubleday Anchor Books.

Haddock, G., & Maio, G. R. (2014). Attitudes: Content, structure, and functions. In M. Hogg & G. Vaughan (Eds.), Social Psychology (7th ed., pp. 149-182). Harlow, UK: Pearson.

Olson, M. A., & Fazio, R. H. (2009). Implicit and explicit measures of attitudes: The perspective of the MODE model. In R. E. Petty, R. H. Fazio, & P. Brinol (Eds.), Attitudes: Insights from the new implicit measures (pp. 19–63). New York, NY: Psychology Press.

Oyserman, D., Elmore, K., & Smith, G. (2012). Self, self-concept, and identity. In M. R. Leary & J. P. Tangney (Eds.), Handbook of Self and Identity (2nd ed., pp. 69–104). New York, NY: Guilford Press.

Petty, R. E., & Briñol, P. (2012). The elaboration likelihood model. In P. A. M. Van Lange, A. W. Kruglanski, & E. T. Higgins (Eds.), Handbook of Theories of Social Psychology (Vol. 1, pp. 224–245). London: Sage.

Petty, R. E., & Cacioppo, J. T. (1986). Communication and Persuasion: Central and Peripheral Routes to Attitude Change. New York: Springer-Verlag.

Sunstein, C. R. (2001). Echo Chambers: Bush v. Gore, Impeachment, and Beyond. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Tajfel, H., & Turner, J. C. (1979). An integrative theory of intergroup conflict. In W. G. Austin & S. Worchel (Eds.), The Social Psychology of Intergroup Relations (pp. 33-47). Monterey, CA: Brooks/Cole.

Triandis, H. C. (1995). Individualism and Collectivism. Boulder, CO: Westview Press.

Turner, J. C. (1987). Rediscovering the Social Group: A Self-Categorization Theory. Oxford, UK: Blackwell.

Vignoles, V. L., Schwartz, S. J., & Luyckx, K. (2011). Introduction: Toward an integrative view of identity. In S. J. Schwartz, K. Luyckx, & V. L. Vignoles (Eds.), Handbook of Identity Theory and Research (pp. 1-27). New York, NY: Springer.


0 komentar:

Posting Komentar