Psikososial

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Psikologi Anak

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Psikologi Keluarga

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

InsideInteraksi

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Halo Psikososial

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 22 Juli 2025

Ketika Label Menjadi Luka: Analisis Stigma Sosial terhadap Ibu Tunggal dalam Perspektif Psikologi Sosial

Ketika Label Menjadi Luka

Nama: Yolanda Dini Noersandy S

NIM: 24616001

Dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, nilai-nilai yang dianut secara kolektif sering kali membentuk bagaimana seseorang diposisikan secara sosial. Norma-norma yang berkembang tidak hanya mengatur perilaku individu, tetapi juga turut menentukan batasan siapa yang dianggap “wajar” dan siapa yang dianggap “berbeda”. Salah satu kelompok yang sering terjebak dalam kerangka penilaian sosial sempit ini adalah ibu tunggal - perempuan yang membesarkan anak tanpa kehadiran pasangan. Terlepas dari alasan mereka menjalani hidup sendiri, baik karena perceraian, ditinggal wafat, atau pilihan hidup lainnya, masyarakat sering kali memandang ibu tunggal sebagai simbol kegagalan, beban sosial, atau bahkan ancaman moral. Pandangan ini tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan berkembang dari interaksi sosial yang sarat prasangka dan stereotip.

Fenomena ini saya angkat berdasarkan kisah nyata yang terjadi di lingkungan tempat saya tinggal di kota Malang. Seorang ibu tunggal, sebut saja Bu Rina (nama disamarkan), mengalami berbagai bentuk diskriminasi sosial sejak ia menjadi janda pada akhir tahun 2022. Suaminya meninggal karena kecelakaan lalu lintas, dan sejak saat itu ia tinggal bersama anak semata wayangnya yang berusia 10 tahun. Pada awalnya, tetangga-tetangga sempat memberikan dukungan dan simpati. Namun, seiring waktu, situasi berubah. Bu Rina mulai merasakan penolakan secara sosial yang datang dalam bentuk pengucilan, gosip, hingga penilaian miring terhadap gaya hidup dan cara berpakaian. Ia mulai jarang diajak dalam kegiatan RT, bahkan ketika ada pembagian bantuan sosial, namanya tidak pernah tercantum. Beberapa warga bahkan menyarankan agar anak-anak mereka tidak terlalu dekat dengan anak Bu Rina karena “nanti ikut-ikutan”.

Melalui tulisan ini, saya ingin menganalisis kasus Bu Rina dalam perspektif psikologi sosial, khususnya dengan menggunakan konsep identitas sosial, prasangka sosial, dan stereotip. Pertanyaan utama yang hendak saya jawab adalah: Bagaimana mekanisme psikologi sosial menjelaskan pengucilan sosial terhadap ibu tunggal, dan bagaimana kita dapat mengidentifikasi faktor-faktor penyebab serta dampaknya terhadap individu dan masyarakat?

Dalam kerangka Teori Identitas Sosial yang dikembangkan oleh Henri Tajfel dan John Turner, setiap individu mendefinisikan dirinya berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok sosial tertentu. Dalam kasus Bu Rina, masyarakat sekitar mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari “keluarga utuh” yang normatif—suami, istri, dan anak—yang dianggap sebagai tatanan sosial yang baik dan seimbang. Ketika muncul sosok seperti Bu Rina yang secara sosial berada di luar struktur tersebut, ia secara otomatis diposisikan dalam kategori out-group. Proses kategorisasi ini kemudian mendorong terjadinya in-group favoritism, yaitu kecenderungan untuk memandang kelompok sendiri secara lebih positif dan kelompok lain secara negatif.

Dari sinilah lahir prasangka sosial. Prasangka adalah sikap negatif terhadap seseorang hanya karena ia berasal dari kelompok tertentu. Dalam hal ini, Bu Rina dipandang sebagai “janda”, bukan lagi sebagai individu dengan kepribadian dan nilai-nilai unik. Label itu membawa konsekuensi, karena janda dalam masyarakat patriarkal sering kali dikaitkan dengan kegagalan rumah tangga, kelemahan emosional, atau bahkan ancaman bagi keluarga orang lain. Prasangka ini diperkuat dengan stereotip, yaitu keyakinan umum yang tidak didasarkan pada kenyataan. Bu Rina mulai diasosiasikan dengan berbagai persepsi negatif: terlalu bebas, terlalu menarik perhatian, tidak pantas bersosialisasi, dan sebagainya.

Dalam psikologi sosial, stereotip sering kali bersumber dari heuristik, yaitu cara berpikir cepat yang menghemat energi kognitif. Orang tidak mau repot mengenal lebih dekat seseorang seperti Bu Rina, sehingga mereka menggunakan label yang sudah tersedia di benaknya sebagai rujukan untuk menilai. Bias kognitif seperti ini diperparah oleh atribusi disposisional, yakni kecenderungan untuk menyalahkan karakter pribadi atas sebuah kejadian, tanpa melihat situasi yang melatarbelakangi. Dalam hal ini, kegagalan rumah tangga Bu Rina dianggap sebagai akibat dari dirinya yang “tidak bisa menjaga rumah tangga”, padahal bisa saja faktor eksternal seperti kematian pasangan atau kekerasan dalam rumah tangga yang menjadi penyebabnya.

Selain aspek kognitif, ada pula faktor emosional yang memperkuat prasangka. Perasaan takut, tidak nyaman, atau bahkan iri bisa menjadi sumber ketegangan yang ditransfer ke perilaku sosial negatif. Di banyak komunitas tradisional, kehadiran perempuan mandiri sering kali mengusik kenyamanan norma yang telah mapan. Seorang ibu tunggal yang aktif, berpenampilan menarik, dan terlihat kuat justru dianggap “mengancam” keseimbangan moral. Emosi seperti ini bisa memunculkan perilaku sosial negatif seperti pengucilan, gosip, dan stigma.

Faktor lainnya adalah norma kelompok. Dalam masyarakat kolektivistik seperti Indonesia, keputusan individu sering kali sangat dipengaruhi oleh sikap kelompok. Banyak warga yang mungkin secara pribadi tidak keberatan dengan keberadaan Bu Rina, namun karena ingin menjaga posisi sosial mereka dalam kelompok, mereka ikut menjauh atau bahkan memperkuat narasi negatif yang berkembang. Ini disebut konformitas sosial, di mana individu menyesuaikan diri dengan kelompok untuk mendapatkan penerimaan sosial atau menghindari penolakan.

Diskriminasi terhadap ibu tunggal seperti Bu Rina tidak hanya berdampak pada level sosial, tetapi juga membawa dampak psikologis yang serius. Secara mental, seseorang yang mengalami pengucilan sosial dapat mengalami distres emosional, kesepian, bahkan gejala depresi. Dalam kasus Bu Rina, ia mengaku mulai kehilangan kepercayaan diri, mudah menangis, dan merasa tidak memiliki tempat yang aman di lingkungannya sendiri. Perasaan tidak diterima ini juga membuatnya ragu untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan menutup diri dari relasi baru.

Dampaknya tidak berhenti pada individu. Anak Bu Rina, yang awalnya ceria, mulai menunjukkan perubahan perilaku. Ia menjadi lebih pendiam, sulit berteman, dan mulai enggan bermain di luar rumah. Jika dibiarkan, ini dapat memicu masalah identitas diri pada masa remaja, termasuk perasaan tidak berharga atau sulit mempercayai orang lain. Trauma sosial yang ditimbulkan dari perlakuan seperti ini bisa berdampak jangka panjang, baik pada aspek psikologis maupun perkembangan sosial anak.

Dari sudut pandang masyarakat, diskriminasi terhadap ibu tunggal justru merugikan komunitas itu sendiri. Ketika sekelompok warga memilih untuk mengasingkan seseorang karena status sosialnya, mereka kehilangan kesempatan untuk belajar dari perbedaan, menjalin kerja sama lintas latar belakang, dan memperkaya nilai-nilai sosial. Masyarakat yang homogen secara sosial sering kali lebih rapuh dalam menghadapi krisis karena tidak terbiasa menerima perbedaan. Sebaliknya, inklusivitas memperkuat ketahanan sosial.

Dalam teori kontak sosial yang dikembangkan oleh Gordon Allport, prasangka bisa dikurangi melalui interaksi antarkelompok yang setara, memiliki tujuan bersama, dan didukung oleh otoritas. Dalam kasus Bu Rina, interaksi yang terjadi justru lebih banyak bersifat negatif atau penuh kecurigaan. Tidak ada dukungan dari tokoh masyarakat, tidak ada inisiatif untuk menjalin kerja sama, dan tidak ada ruang bagi partisipasi ibu tunggal dalam kegiatan sosial. Artinya, syarat-syarat untuk memecah prasangka melalui kontak sosial tidak terpenuhi.

Dari hasil analisis ini, kita bisa menarik beberapa rekomendasi praktis. Pertama, perlu adanya pendidikan sosial berbasis empati yang dilakukan secara informal melalui kegiatan warga seperti pengajian, PKK, atau forum RT. Kedua, penting untuk membentuk ruang aman bagi ibu tunggal untuk bersuara dan berpartisipasi, misalnya melalui kelompok dukungan atau forum diskusi komunitas. Ketiga, peran tokoh masyarakat sangat penting untuk memodelkan perilaku inklusif dan membentuk norma sosial yang baru. Tokoh-tokoh ini bisa memulai dengan memberikan kesempatan bagi ibu tunggal untuk terlibat dalam kepanitiaan kegiatan, mengajar keterampilan, atau menjadi narasumber yang diakui.

Selain itu, pemerintah daerah juga memiliki peran penting. Perlu ada kebijakan lokal yang memastikan bahwa bantuan sosial, akses layanan pendidikan, dan fasilitas umum diberikan secara adil, tanpa memandang status keluarga. Penegasan dalam bentuk surat keputusan desa atau peraturan kelurahan bisa menjadi dasar legal untuk melindungi hak ibu tunggal.

Tak kalah penting adalah representasi media. Sinetron, film, dan iklan publik harus mulai menampilkan sosok ibu tunggal secara positif dan realistis, bukan sebagai simbol penderitaan atau objek rasa kasihan semata. Media memiliki peran besar dalam membentuk opini publik dan bisa digunakan sebagai alat dekontruksi terhadap stereotip yang telah tertanam dalam budaya masyarakat.

Dari sisi psikologi, kita juga bisa memanfaatkan intervensi berbasis kognitif dan afektif, misalnya dengan menghadirkan narasi personal dari ibu tunggal dalam forum publik, kampanye empati, atau pelatihan kesadaran sosial di sekolah. Semakin banyak orang yang memiliki pengalaman langsung atau emosional terhadap kisah ibu tunggal, semakin besar kemungkinan mereka untuk mengubah sikap negatif menjadi dukungan aktif.

Sebagai penutup, kasus Bu Rina mencerminkan bahwa stigma terhadap ibu tunggal bukan hanya permasalahan pribadi, melainkan produk dari dinamika sosial yang lebih luas. Diskriminasi seperti ini tidak akan bisa diselesaikan hanya dengan meminta ibu tunggal untuk "kuat" atau "sabar". Yang dibutuhkan adalah perubahan struktur sosial, perubahan narasi, dan keterlibatan aktif dari semua pihak untuk membongkar prasangka yang telah berurat akar. Psikologi sosial mengajarkan kita bahwa perilaku sosial bisa berubah jika sistem sosial ikut berubah. Oleh karena itu, mari kita mulai membangun masyarakat yang lebih adil, bukan hanya dengan memberi ruang bagi kelompok rentan, tetapi juga dengan mengubah cara pandang kita terhadap mereka.


Daftar Pustaka
Baron, R. A., Branscombe, N. R., & Byrne, D. (2012). Social Psychology (13th ed.). Pearson.
Myers, D. G. (2014). Psikologi Sosial (Edisi 10). Jakarta: Salemba Humanika.
Tajfel, H., & Turner, J. C. (1986). The social identity theory of intergroup behavior. In Psychology of Intergroup Relations (pp. 7–24).
Allport, G. W. (1954). The Nature of Prejudice. Reading, MA: Addison-Wesley.
Bandura, A. (1986). Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Kompas.com. (2023). “Cerita Ibu Tunggal yang Diperlakukan Tidak Adil di Lingkungannya.” https://www.kompas.com/humaniora/ibu-tunggal-stigma

Sabtu, 12 Juli 2025

Psikologi Kognitif dan Emosi: Melupakan dan Mengingat

Salah satu pertanyaan klasik dalam psikologi kognitif adalah mengapa kita bisa mengingat sebagian hal dengan sangat jelas, sementara melupakan yang lainnya? Pertanyaan ini menjadi lebih kompleks ketika kita memasukkan faktor emosi ke dalamnya. Sejumlah penelitian mutakhir menunjukkan bahwa emosi memiliki pengaruh kuat terhadap bagaimana otak kita menyimpan, memperkuat, atau justru melupakan memori tertentu.

Emosi Memperkuat Memori

Secara umum, peristiwa yang mengandung muatan emosional cenderung lebih mudah diingat daripada peristiwa netral. Fenomena ini dikenal sebagai emotional enhancement of memory. Misalnya, kita mungkin lebih mudah mengingat detail saat mengalami peristiwa mengerikan, seperti kecelakaan, dibanding rutinitas biasa.

Menurut Kensinger (2009), emosi, khususnya yang bersifat negatif, meningkatkan aktivitas di amigdala dan hippocampus, dua struktur otak penting yang terlibat dalam pembentukan memori. Aktivasi ini membuat memori lebih “kuat” atau tahan lama. Itulah sebabnya, memori akan terasa lebih hidup ketika kita mengingat pengalaman emosional.

Fredrickson (2001) menambahkan perspektif lain dengan teorinya broaden-and-build, yang menyatakan bahwa emosi positif juga berperan besar. Orang yang sedang merasa bahagia cenderung memiliki ingatan yang lebih luas, mampu mengingat lebih banyak detail, dan menghubungkan informasi secara lebih kreatif.

Melupakan: Ketika Emosi Bekerja Sebaliknya

Namun, tidak semua emosi memperkuat memori. Ada situasi di mana emosi justru menghambat proses mengingat atau mempercepat melupakan. Salah satu contohnya adalah motivated forgetting, di mana individu sengaja atau secara tidak sadar berusaha melupakan pengalaman traumatis atau menyakitkan.

Anderson dan Green (2001) dalam penelitiannya menggunakan Think/No-Think paradigm untuk membuktikan bahwa kita memang bisa secara aktif menekan ingatan tertentu, terutama jika ingatan tersebut bersifat emosional negatif. Menariknya, semakin sering seseorang berusaha menekan memori, semakin sulit memori itu muncul kembali di kemudian hari.

Selain itu, stres berlebihan juga terbukti mengganggu pembentukan memori. Penelitian oleh Dolcos et al. (2020) menunjukkan bahwa kadar hormon stres yang tinggi seperti kortisol dapat menghambat kerja hippocampus, sehingga informasi yang seharusnya disimpan justru hilang atau terlupakan.

Memori Emosional dan Distorsi

Meski memori emosional lebih kuat, bukan berarti selalu akurat. Penelitian oleh Laney dan Loftus (2017) mengungkapkan bahwa emosi dapat membuat kita mengingat detail yang salah. Misalnya, seseorang mungkin mengingat peristiwa dengan detail lebih dramatis atau intens daripada yang sebenarnya terjadi. Ini dikenal sebagai false memory effect, yang sering muncul terutama pada pengalaman yang sarat emosi negatif.

Konsekuensinya cukup serius, misalnya dalam kesaksian saksi mata di pengadilan, di mana korban trauma yakin akan ingatannya, padahal sebagian bisa saja tidak sesuai fakta.

Integrasi Kognisi dan Emosi

Temuan-temuan ini semakin mengukuhkan pandangan bahwa kognisi dan emosi tidak dapat dipisahkan. Emosi bukan sekadar reaksi subjektif, melainkan berperan penting dalam menentukan apa yang kita simpan dalam memori, apa yang kita lupakan, dan seberapa akurat kenangan tersebut. Bahkan, dalam konteks klinis, banyak terapi psikologi saat ini fokus pada cara membantu klien mengelola memori emosional yang menyakitkan agar tidak terus-menerus mengganggu kehidupan sehari-hari.

Secara keseluruhan, psikologi kognitif dan emosi memberi kita pemahaman mendalam tentang mekanisme kompleks otak yang bekerja dalam proses mengingat dan melupakan. Penelitian di bidang ini tidak hanya penting untuk ilmu psikologi murni, tetapi juga memiliki dampak praktis besar di bidang hukum, pendidikan, hingga kesehatan mental.

Referensi

Anderson, M. C., & Green, C. (2001). Suppressing unwanted memories by executive control. Nature, 410(6826), 366–369. https://doi.org/10.1038/35066572

Dolcos, F., Katsumi, Y., & Dixon, R. A. (2020). The role of emotion in memory and cognition. Current Opinion in Behavioral Sciences, 36, 1-6. https://doi.org/10.1016/j.cobeha.2020.05.001

Fredrickson, B. L. (2001). The role of positive emotions in positive psychology: The broaden-and-build theory of positive emotions. American Psychologist, 56(3), 218–226. https://doi.org/10.1037/0003-066X.56.3.218

Kensinger, E. A. (2009). Remembering the details: Effects of emotion. Emotion Review, 1(2), 99-113. https://doi.org/10.1177/1754073908100432

Laney, C., & Loftus, E. F. (2017). Emotional memory and the false memory illusion: An update. Current Directions in Psychological Science, 26(6), 485-490. https://doi.org/10.1177/0963721417718228

Vuilleumier, P. (2005). How brains beware: Neural mechanisms of emotional attention. Trends in Cognitive Sciences, 9(12), 585-594. https://doi.org/10.1016/j.tics.2005.10.011

 

Sikap dan Identitas dalam Perspektif Psikologi

Sikap dan Identitas dalam Perspektif Psikologi

Oleh: Yolanda Dini N.S.

Sering kali manusia mempertanyakan dirinya sendiri. Dalam keheningan, seseorang mungkin merenung, “Siapa sebenarnya saya? Mengapa saya berpikir demikian? Apa yang membuat saya bersikap seperti ini terhadap sesuatu, sedangkan orang lain bersikap berbeda?” Pertanyaan-pertanyaan semacam ini wajar muncul karena manusia sebagai makhluk sosial senantiasa berproses mengenali diri sekaligus memahami lingkungannya. Dua konsep penting yang kerap menjadi sorotan dalam psikologi dan sangat terkait dengan hal ini adalah sikap (attitude) dan identitas (identity). Keduanya memiliki peran penting dalam membentuk pola pikir, perilaku, serta bagaimana seseorang memaknai dirinya dan orang lain.

Dalam psikologi, sikap diartikan sebagai kecenderungan untuk mengevaluasi suatu objek, peristiwa, gagasan, atau individu secara positif atau negatif (Ajzen & Fishbein, 2005). Objek sikap bisa sangat luas, mulai dari isu sosial, kebijakan publik, hingga persepsi terhadap diri sendiri. Sikap bukan sekadar rasa suka atau tidak suka, melainkan konstruksi psikologis yang terdiri dari tiga komponen: kognitif (keyakinan atau pikiran tentang objek sikap), afektif (perasaan yang ditimbulkan oleh objek sikap), dan konatif atau perilaku (kecenderungan untuk bertindak terhadap objek sikap) (Eagly & Chaiken, 1993).

Sebagai contoh, seseorang mungkin memiliki keyakinan bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan (komponen kognitif), merasa jijik atau khawatir ketika melihat orang merokok (komponen afektif), dan memilih menjauh dari orang yang sedang merokok (komponen konatif). Namun demikian, konsistensi ketiga komponen ini tidak selalu terjadi. Seseorang bisa saja mengetahui bahwa makanan cepat saji tidak sehat, namun tetap mengonsumsinya karena alasan kesenangan atau kemudahan (Haddock & Maio, 2014). Fenomena ketidaksesuaian antara pengetahuan, perasaan, dan tindakan inilah yang dalam psikologi disebut cognitive dissonance (Festinger, 1957).

Sikap terbentuk melalui berbagai sumber. Pengalaman pribadi menjadi salah satu faktor penting. Misalnya, seseorang yang pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan dengan hewan tertentu mungkin tumbuh dengan sikap takut terhadap hewan tersebut (Olson & Fazio, 2009). Selain itu, lingkungan sosial juga berperan besar. Keluarga, teman, atau tokoh masyarakat dapat menanamkan nilai-nilai tertentu yang secara tidak langsung membentuk sikap seseorang. Media massa dan media sosial turut memberikan pengaruh signifikan. Paparan berulang terhadap informasi tertentu di media dapat memperkuat atau mengubah sikap individu (Petty & Cacioppo, 1986; Albarracín & Shavitt, 2018).

Budaya dan nilai sosial juga menjadi faktor penting dalam pembentukan sikap. Apa yang dianggap pantas dalam satu budaya belum tentu sama dalam budaya lain. Misalnya, sikap terhadap cara berpakaian, kebiasaan sosial, atau pola relasi antara laki-laki dan perempuan sangat dipengaruhi oleh norma budaya yang berlaku (Triandis, 1995).

Menariknya, sikap bersifat dinamis dan dapat berubah. Psikologi sosial banyak mengkaji proses persuasi, yaitu bagaimana sikap seseorang dapat diubah. Salah satu teori penting adalah Elaboration Likelihood Model (ELM) yang dikembangkan oleh Petty dan Cacioppo (1986). Teori ini menjelaskan bahwa perubahan sikap dapat terjadi melalui dua jalur: central route, yang melibatkan pemikiran mendalam terhadap argumen yang disampaikan, dan peripheral route, yang lebih mengandalkan isyarat-isyarat permukaan seperti daya tarik pembicara atau gaya penyampaian. Jalur periferal lebih sering terjadi karena manusia cenderung menghemat energi kognitif dalam memproses informasi sehari-hari. Namun, perubahan sikap melalui jalur sentral biasanya lebih tahan lama dan konsisten (Petty & Briñol, 2012).

Hubungan antara sikap dan identitas sangat erat. Identitas merupakan konsep diri yang menjawab pertanyaan mendasar: “Siapa saya?” Menurut Erikson (1968), pembentukan identitas merupakan tugas perkembangan yang sangat penting, terutama pada masa remaja, meskipun sebenarnya proses ini berlangsung seumur hidup. Identitas mencakup dimensi pribadi (ciri khas, kepribadian, nilai) dan dimensi sosial (kelompok sosial, budaya, agama) (Oyserman et al., 2012).

Identitas sosial, misalnya, sangat memengaruhi sikap individu terhadap isu-isu tertentu. Seseorang yang mengidentifikasi dirinya sebagai aktivis lingkungan mungkin akan bersikap tegas terhadap isu perubahan iklim, penggunaan plastik sekali pakai, atau kebijakan energi. Hal ini selaras dengan self-categorization theory yang dijelaskan oleh Turner (1987), di mana individu cenderung mengelompokkan dirinya ke dalam kategori sosial tertentu (ingroup) dan membedakan diri dari kelompok lain (outgroup). Konsep ini menjelaskan bagaimana identitas sosial dapat memengaruhi sikap, sering kali menghasilkan perilaku mendukung kelompok sendiri dan bersikap kritis terhadap kelompok lain (Tajfel & Turner, 1979).

Identitas tidak bersifat tetap, melainkan dinamis. Identitas seseorang dapat berubah seiring pertambahan usia, perubahan sosial, pengalaman hidup, atau perubahan nilai. Seseorang yang dahulu mendefinisikan dirinya sebagai pekerja keras mungkin mengubah fokus menjadi lebih menghargai keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan setelah mengalami pengalaman tertentu (Vignoles et al., 2011). Selain itu, perubahan identitas juga dapat terjadi akibat peristiwa besar, seperti berpindah ke negara lain, kehilangan orang tercinta, atau perubahan sosial signifikan.

Era digital membuat hubungan antara sikap dan identitas menjadi semakin kompleks. Media sosial bukan hanya menjadi sarana berbagi informasi, tetapi juga ruang bagi individu untuk membangun dan memoles identitas mereka. Seseorang dapat menciptakan persona tertentu di media sosial yang mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan kehidupan nyata mereka. Fenomena presentation of self seperti dijelaskan Goffman (1959) menjadi semakin relevan, di mana individu menampilkan versi terbaik dari dirinya agar mendapat pengakuan sosial. Namun, kondisi ini juga berpotensi menimbulkan cognitive dissonance, yakni ketegangan akibat perbedaan antara identitas yang ditampilkan dan identitas asli (Festinger, 1957).

Media sosial juga menciptakan fenomena echo chamber, yaitu lingkungan digital yang hanya memperkuat pandangan yang sudah dimiliki. Individu cenderung hanya mengikuti akun atau komunitas yang sejalan dengan sikapnya, sehingga jarang terpapar pandangan berbeda (Sunstein, 2001). Hal ini sering menjadi penyebab menguatnya polarisasi sosial dan politik di masyarakat.

Memahami hubungan antara sikap dan identitas penting agar kita lebih bijaksana dalam memaknai diri sendiri maupun orang lain. Kesadaran bahwa sikap sering kali lahir dari identitas sosial dapat membantu kita mengelola konflik sosial, menghargai perbedaan, dan mengurangi prasangka. Selain itu, mengenali sikap dan identitas membantu kita lebih memahami pilihan-pilihan hidup yang kita ambil, serta apa yang sebenarnya kita anggap penting.

Pada akhirnya, pertanyaan “Siapa saya?” tidak memiliki jawaban yang sepenuhnya final. Identitas kita adalah hasil konstruksi pengalaman, nilai, keyakinan, serta interaksi sosial yang terus berkembang. Sikap kita pun demikian, senantiasa dinamis, berubah seiring bertambahnya pengetahuan, kondisi sosial, dan pengalaman hidup. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang terus bertumbuh dan belajar memahami dirinya sendiri.

Oleh karena itu, tidak ada salahnya sesekali kita berhenti sejenak, merenung, dan bertanya pada diri sendiri: “Apa sikap yang saya miliki saat ini? Apa yang membuat saya merasa seperti ini? Bagaimana hal itu berhubungan dengan siapa saya selama ini?” Proses refleksi semacam ini bukan hanya bermanfaat untuk mengenali diri, tetapi juga menjadi langkah awal menjadi pribadi yang lebih bijaksana dan terbuka terhadap keberagaman. Sebab, memahami sikap dan identitas bukan sekadar mempelajari teori psikologi, melainkan perjalanan untuk mengenali kisah hidup kita sendiri.


Referensi

Ajzen, I., & Fishbein, M. (2005). The influence of attitudes on behavior. In D. Albarracín, B. T. Johnson, & M. P. Zanna (Eds.), The Handbook of Attitudes (pp. 173-221). Mahwah, NJ: Erlbaum.

Albarracín, D., & Shavitt, S. (2018). Attitudes and attitude change. Annual Review of Psychology, 69, 299–327. https://doi.org/10.1146/annurev-psych-122216-011911

Eagly, A. H., & Chaiken, S. (1993). The Psychology of Attitudes. Orlando, FL: Harcourt Brace Jovanovich.

Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and Crisis. New York: W. W. Norton & Company.

Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford, CA: Stanford University Press.

Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. New York: Doubleday Anchor Books.

Haddock, G., & Maio, G. R. (2014). Attitudes: Content, structure, and functions. In M. Hogg & G. Vaughan (Eds.), Social Psychology (7th ed., pp. 149-182). Harlow, UK: Pearson.

Olson, M. A., & Fazio, R. H. (2009). Implicit and explicit measures of attitudes: The perspective of the MODE model. In R. E. Petty, R. H. Fazio, & P. Brinol (Eds.), Attitudes: Insights from the new implicit measures (pp. 19–63). New York, NY: Psychology Press.

Oyserman, D., Elmore, K., & Smith, G. (2012). Self, self-concept, and identity. In M. R. Leary & J. P. Tangney (Eds.), Handbook of Self and Identity (2nd ed., pp. 69–104). New York, NY: Guilford Press.

Petty, R. E., & Briñol, P. (2012). The elaboration likelihood model. In P. A. M. Van Lange, A. W. Kruglanski, & E. T. Higgins (Eds.), Handbook of Theories of Social Psychology (Vol. 1, pp. 224–245). London: Sage.

Petty, R. E., & Cacioppo, J. T. (1986). Communication and Persuasion: Central and Peripheral Routes to Attitude Change. New York: Springer-Verlag.

Sunstein, C. R. (2001). Echo Chambers: Bush v. Gore, Impeachment, and Beyond. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Tajfel, H., & Turner, J. C. (1979). An integrative theory of intergroup conflict. In W. G. Austin & S. Worchel (Eds.), The Social Psychology of Intergroup Relations (pp. 33-47). Monterey, CA: Brooks/Cole.

Triandis, H. C. (1995). Individualism and Collectivism. Boulder, CO: Westview Press.

Turner, J. C. (1987). Rediscovering the Social Group: A Self-Categorization Theory. Oxford, UK: Blackwell.

Vignoles, V. L., Schwartz, S. J., & Luyckx, K. (2011). Introduction: Toward an integrative view of identity. In S. J. Schwartz, K. Luyckx, & V. L. Vignoles (Eds.), Handbook of Identity Theory and Research (pp. 1-27). New York, NY: Springer.